Masa kanak-kanak adalah masa yang seharusnya menyenangkan. Masa kanak-kanak adalah masa yang dipenuhi dengan kegembiraan, banyak waktu yang digunakan untuk bermain dengan berbagai permainan yang menyenangkan sehingga masa kanak-kanak menjadi masa yang akan selalu dikenang oleh setiap individu.
Manusia berkembang melalui pengalaman dan hubungan timbal balik dengan lingkungan sekitarnya, terutama keluarga. Bayi yang selalu diberikan stimulus respon yang baik dari kedua orang tuanya pun dapat menjadi seorang anak yang mempunyai kemampuan responsif secara emosional.
Riset terbaru tentang otak telah menghasilkan tiga temuan penting yang utama. Pertama, kapasitas seorang individu untuk belajar dan berkembang dalam berbagai lingkungan tergantung hubungan timbal balik antara faktor alam (warisan genetiknya atau faktor keturunan) dan cara asuh (jenis perhatian, rangsangan, dan didikan yang diperoleh). Kedua, otak manusia secara unik dibentuk agar mengambil manfaat dari pengalaman dan pengajaran yang baik selama tahun-tahun pertama kehidupan. Dan ketiga, meskipun kesempatan dan resiko terbesar dialami selama tahun pertama kehidupan, proses pembelajaran akan tetap selama siklus hidup manusia (Silberg, 2004). Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung kepada cara kebudayaan tersebut mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia.
Tujuan pendidikan pada umumnya ialah menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan masyarakat. Sebuah studi yang dilakukan George Land dalam Break-Point and Beyond (dalam Nashori, 2002) menunjukkan fakta yang sangat dramatis. Anak berusia 5 tahun mencetak skor kreativitas sebanyak 98%, anak usia l0 tahun 32%, remaja berusia 15tahun 10%, dan orang dewasa hanya 2%. Proses hidup, terutama melalui lembaga pendidikan formal, seakan mengantarkan anak kepada satu arah yang pasti, yakni menurunnya kreativitas. Ternyata proses penghilangan kreativitas telah berlangsung semenjak dini. Menurut Seto Mulyadi (dalam Nashori, 2002), kreativitas ini mengalami proses penghilangan setelah seseorang mengikuti pendidikan di Sekolah Dasar. Ketika berada di bangku sekolah, seorang anak dilatih untuk memilih satu jawaban yang benar atas suatu persoalan dalam ujian. Hal ini menjadikan potensi berpikir kreatif tidak berkembang optimal. Proses
penghilangan itu terus erlangsung hingga jenjang pendidikan mereka ada di lembaga pendidikan tinggi. Komite Penasehat Nasional bidang Pendidikan Kreatif dan Pendidikan Budaya (1999) menggambarkan kreativitas sebagai bentuk aktivitas imajinatif yang mampu menghasilkan sesuatu yang bersifat original, murni, asli, dan bermakna. Kreativitas tumbuh dari adanya rasa ingin tahu yang amat besar. Pada masa kanak-kanak, seseorang ingin mengetahui apa saja yang dilihatnya. Mereka melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang orisinal. Sebagian bahkan berusaha memperoleh jawaban dengan melakukan eksplorasi langsung ke kancah. Apa yang dilakukan manusia kecil ini adalah bukti kreativitas manusia.
Usia kanak-kanak merupakan masa yang sangat subur untuk mengembangkan kreativitas. Masa ini banyak memberikan waktu untuk melakukan kegiatan kreativitas melalui bermain. Bermain memberi kesempatan pada anak untuk mewujudkan ide-ide baru, menemukan sesuatu yang baru guna membentuk cita-cita yang unik dan kreatif. Anak dapat berfantasi secara bebas sehingga kreativitas dapat berkembang. Banyak studi mengenai kreativitas menunjukkan bahwa perkembangannya mengikuti pola yang diramalkan. Ini tampak pada awal kehidupan dan pertama-tama terlihat dalam permainan anak. Menjadi kreatif juga penting bagi anak kecil karena dapat menambah bumbu dalam permainan, dimana permainan merupakan pusat kegiatan hidup. Jika kreativitas dapat membuat permainan menjadi menyenangkan, anak akan merasa bahagia dan puas (Hurlock, 1993).
Bermain merupakan aktivitas anak yang dilakukan dengan gerakan atau perbuatan tertentu untuk mendatangkan rasa puas, senang, dan gembira. Dimanapun ada anak, di situ ada permainan, sedang dunia anak tidak dapat dipisahkan dari kegiatan bermain. Permainan merupakan kesibukan yang dipilih sendiri tanpa adanya unsur paksaan, tanpa didesak oleh rasa tanggungjawab. Permainan tidak mempunyai tujuan tertentu. Tujuan permainan terletak pada permainan itu sendiri dan dapat dicapai pada waktu bermain (Muslimah, 2004).
Dunia bermain memang tidak dapat dipisahkan dengan masa anak-anak. Bermain bagi anak sangat berperan bagi masa tumbuh kembangnya. Menurut Tedjasaputra (2001) melalui bermain anak akan memperoleh banyak keuntungan yang tidak sedikit. Dari permainan yang mereka lakukan atau mainkan anak akan mendapat stimulasi yang cukup banyak. Stimulasi yang diperoleh anak seharusnya tidak hanya sekedar stimulasi bagi kognisi saja tetapi juga stimulasi bagi afeksinya. Bila salah satu aspek tidak diberi kesempatan untuk berkembang, maka akan terjadi ketimpangan. Bruner (Hurlock, 1996) mengatakan bahwa bermain pada masa kanakkanak adalah kegiatan yang serius, yang merupakan bagian penting dalam perkembangan tahun-tahun pertama pada masa kanak-kanak, sehingga peran serta orang-orang di sekelilingnya untuk membantu, mengarahkan, dan membimbing mereka sangatlah diperlukan. Masa kanakkanak merupakan masa yang sangat membutuhkan rasa aman dan nyaman dari lingkungan di sekitarnya dalam mengembangkan potensi diri yang dimiliki. Hurlock (1996) berpendapat bahwa masa kanak-kanak adalah masa ketika seorang individu relatif tidak berdaya dan bergantung dengan orang lain. Bermain merupakan jembatan anak dari belajar secara informal menjadi formal. Sebagai contoh, pada awalnya saat bermain dengan balok-balok, anak mempelajari berbagai bentuk geometris �� mengetahui namanya �� mengenali bentuknya, belajar berkonsentrasi dan menekuni tugasnya. Pengenalan terhadap bentuk menjadi dasar bagi pengenalan huruf atau angka. Bermain mempunyai banyak manfaat dalam mengembangkan keterampilan anak sehingga anak lebih siap untuk menghadapi lingkungannya dan lebih siap dalam mengikuti pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi (Tedjasaputra, 2001). Alat permainan yang ada saat ini tidak hanya terbatas pada alat permainan tradisional seperti congklak, kelereng, dan bekel. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan semakin canggih pula alat permainan yang dapat dikonsumsi anak. Kebanyakan alat permainan mutakhir bersifat otomatis dan menggunakan tomboltombol saja, seperti komputer, video games, dan alat permainan elektronik lainnya. Sosiolog dari Universitas Indonesia , Dra. Siti Hidayati menilai video games cukup gawat pengaruhnya pada sosialisasi anak. Dalam proses sosialisasi, anak butuh teman sebaya untuk bermain. Bermain di sini diartikan sebagai proses belajar bermasyarakat. Ini pasti perlu ruang dan waktu. Parahnya, lahan bermain makin lenyap, sementara waktu pun hilang begitu saja di depan layar video games. Dalam permainan ini, anak berhadapan dengan benda mati. Jadi, tak ada interaksi yang kreatif. Permainan modern juga cenderung bersifat individualis sehingga menghambat anak mengembangkan keterampilan sosialnya. Selama ini ada yang mengukur perkembangan hanya dari sudut kecerdasan dan pencapaian prestasi akademik sekolah, namun di kemudian hari terbukti bahwa di lapangan pekerjaan tingkat kepandaian bukanlah tolak ukur keberhasilan satu-satunya, ada kematangan perkembangan lain yang berpengaruh yaitu kecerdasan emosional (Muslimah, 2004). Dengan bermain, anak dapat mengembangkan kreativitasnya dalam ide atau pelajaran. Dengan berkembangnya kreativitas, anak akan dapat mewujudkan diri, bermanfaat, memberikan kepuasan serta yang memungkinkan adalah anak dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar